Wednesday 28 October 2009

Menuju 2014

. Wednesday 28 October 2009
0 comments
Senja tenggelam di tepi barat, sang matahari menyembunyikan wajahnya setelah seharian memberikan rona terang yang kadang tertutup mendung. Malam datang dan terus beranjak, mencoba memberi suasana tenang di atas bukit Sendang Kamulyan, tempat dhimas Petruk dan sedulur kinasih Gareng menghabiskan waktu sehari-harinya. Seperti biasa, Gareng sejak sore bertandang ke gubug adiknya terkasih, Petruk Partowijaya. Entah ada parigawe apa sehingga masih sore Gareng sudah bertandang ke gubug Petruk.

” Ngopo kang sore-sore ko sudah rengkuyak-rengkuyuk nyambangi gubukku? Sambutan Petruk yang kelihatannya penuh tanya dengan kedatangan Gareng. ”Biasalah adikku yang mancung sendiri hidungnya”hahahaha. ”Tapi aku bukan pinokio lho kang, hidung mancung yang suka membohongi orang”! Jawab Petruk sedikit ketus. Iya-iya...dirimu kan adikku yang paling pinter sendiri. Tapi ya itu Truk, klo inget ngendikane Ramane bahwa ”jalmo manungsa wenang goroh” trus yang tidak wenang goroh siapa ya Truk? Pastinya Sang Hyang Kumeling Jali tha kang Gareng”. Yang tidak lain tidak bukan ya Hati Nurani itu sendiri. Wahh...jan pinter tenan adikku lanang kiye.

Ngene lho dhi..,dirimu tahu sendiri kan kalau sebelah rumahku itu gagal jadi wakil rakyat?. He’eh iya ada apa? Apa dia dadi edan? Seperti berita di TV itu?. Wah ya nggaklah tha Truk. Sudah keluar duwit banyak, jual rumah, sawah kampung. Mak plunus hasile nolllllll. Mung trima diakali makelar pemilu, Hahahaha.... wis jan melas temen wong-wong kuwi.

Aku ki ora melaske caleg-caleg yang gak jadi ko Truk, tapi melas rakyat yang memasukkan dirinya sendiri dalam kebodohan politik praktis. Walah...?! kang gareng ko semakin tinggi saja kaweruhe soal politik. Ya nggak begitu tha Truk, aku itu Cuma ngulas rasa. Lha yo..yen arep dadi wakil rakyat wae nganti ngentekke duwit atusan yuta, terus mengko olehe mbalekke kepiye?. Padahal yen digagas honor dadi DPR ki piro, durung potongan-potongan kanggo partainya. Wis dinalar lumrah wae Truk, yen olehe mbalekke modal tembene mestine yo dengan membodohi rakyat, bola-bali rakyat jadi korban. Yen wis krasa jadi korban nembe pada demo. Guooooblogke ko setengah modaaaar rakyat kiye.

Diweruhi wingko ko ya diarani kencono. Sing kencono diarani wingko. Alam rasane wis kuwolak-kuwalik kuwi Truk. Hemmm...yo aku ki setuju pendapatmu kuwi kang Gareng, tapi wis piye maneh. Budaya-budaya yen kere yo ngene iki. Ngaku sugih ko ya sulit. Mbok ya sok jaim sithik ngono lho yen urusan prinsip dan nurani kiye. Gembar-gembor ngurusi moral, trus moral sing kepiye? Apa gek-gek ngono kuwi ya Truk justru yang dinamakan orang bermoral?.

Serba sulit kang Gareng, satu sisi butuh-satu sisi ngapusi dirinya sendiri. Kalau kamu punya pikiran begitu, tatanan iki dadi bubrah Truk, tatanane diri pribadi ning menungsa kiye. Nurani kena dituku, prinsip kena dituku, makane nyawa ya isa dituku. Ya begini lho kang Gareng, jaman saiki akeh wong munafik, sewu siji sing nduwe sipat blakasuta njaba njero. Kamangka kuwi gawane manungsa sing sak benere. Aku ora arep nyalahke sopo-sopo kang. Akeh endog pada bonor, ora isa netes lan netesake. Mula iki sing dadi gegambarane wong saiki, sing ngadek jejekke sikil ning bumi Nuswantara kiye. Yen salah ora gelem ngaku salah, benere diungkulake. Nyuwun ngapunten Gusti....suara lirih keluar dari bibir batin Gareng.

Walaaah...ora krasa wis jam 23.59 Truk..aku tak njaluk pamit disik, netebi wajib kewajibane menungsa urip. Alahhhh...celathune ki arep kelon sama mbakyu Gareng wae ko ndadak repot ngomonge. Hahahahaha....kuwi bahasa sing lugas Truk, Wis jan bener yen jenengmu ki PetRuk...anane nikmating Gusti sing ora ana tandingane. Hehehehe...yowislah kang, gek bali kana. Donga-dinunga wae kang, yakin saja kalau masih ada telur yang menetas dan menetaskan wiji sejati di buwi Nuswantara ini.Aminnnnnn.....

Author: Dhimas_Petruk - Semarang
»»  READMORE...

Gerakan Fundamentalime Agama

.
0 comments
Tumbangnya kekuasaan sistem kolonial dan imperial pada jaman pendudukan kaum penjajah menjadi semangat bagi bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dan meraih kemerdekaan dari belenggu penjajahan bangsa lain. Suatu gerakan atas dasar kesamaan dalam memperoleh haknya untuk hidup tanpa tekanan dan kekuasaan tirani dari bangsa lain. Semangat ini mengawali terjadinya berbagai perlawanan terhadap kaum penjajah. Tanpa memandang suku, agama, ras, rakyat Indonesia bersatu padu melawan kekuatan penjajahan untuk sebuah kemerdekaan berkehidupan dan untuk menentukan nasib bangsanya sendiri.

Dengan tetesan keringat dan darah akhirnya kemerdekaan dapat diraih, meski banyak pengorbanan yang mesti dilakukan oleh bangsa Indonesia. Sang Proklamator Ir. Soekarno mulai melangkah, menata kehidupan bangsa Indonesia setelah terbebas dari penjajahan dalam wadah NKRI. Tidak mudah mempertahankan keutuhan negara pada masa itu. Terjadi riak-riak kecil, pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. Pada bulan Januari 1952 Kahar Muzakar dan Kasso Abdul Ghani pernah mendeklarasikan Sulawesi Selatan menjadi bagian apa yang disebut dari Negara Islam Indonesia, pimpinan SMK yang terkonsentrasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Masih banyak lagi gejolak-gejolak pada pemerintahan Presiden Soekarno yang mengarah pada keruntuhan Pancasila yang telah disepakati bersama oleh seluruh bangsa Indonesia. Kemudian Sampailah bangsa Indonesia pada rezim orde baru yang digawangi oleh Suharto, dengan sistem pemerintahannya mencoba menekan kemunculan dan bertindak tegas pada golongan, maupun organisasi yang mengancam keutuhan NKRI yang berdasar pada Pancasila dan UUD'45. Setelah berakhirnya masa Orba dengan hadirnya era reformasi merupakan angin segar bagi bangsa Indonesia dalam hal mengemukakan pendapat dan berorganisasi yang mungkin berbeda dengan pandangan pemerintah. Dimana ketika itu (Orde Baru telah berkuasa kurang lebih selama 32 tahun) bangsa ini mengalami pemasungan kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Datangnya era reformasi ini merupakan sebuah cakrawala baru bagi bangsa Indonesia untuk bebas berpendapat dan berorganisasi tanpa harus takut diintimidasi oleh aparat pemerintah.

Dengan situasi yang sedemikian euphoria ini maka saat itu dapat dengan mudah kita temukan berbagai macam organisasi yang lahir, baik itu organisasi yang bersifat keagamaan, sosial  kebudayaan, politik ataupun yang lainnya dengan berbagai macam pula ideologi yang diusung. Terutama gerakan-gerakan keagamaan yang diwaktu rezim orde baru masih memakai metode gerakan sirri (gerakan underground), dengan angin segar reformasi dan semangat demokrasi mereka (baca: gerakan fundamentalisme) mulai berani menunjukkan taringnya.

Jika kita cermati dan teliti lebih jauh, akan kita temukan kesamaan dalam hal visi misi yang mereka usung antara gerakan fundamentalisme beragama yang ada di Indonesia dengan gerakan yang ada di luar negeri, semisal gerakan Ikhwanul Muslimin yang tumbuh subur di Mesir, Hizbut Tahrir yang dipelopori oleh Syekh Taqiyyudin An-Nabbani dan gerakan-gerakan yang lain. Gerakan-gerakan fundamentalisme yang ada di Indonesia cenderung mengadopsi ideologi-ideologi dan pola-pola gerakan dari luar. Terdapat indikasi bahwa gerakan fundametaslisme ini (dalam Islam) menginginkan penggantian dasar negara Pancasila dan UUD 1945 dengan sistem khilafah Islamiah. Permasalahan ini dapat kita lacak pada AD/ART yang diantaranya ideologi yang mereka yakini adalah ideologi Islam, tapi Islam menurut mereka (Taqiyyudin An-Nabbani: 1998). Berbagai jalan telah mereka tempuh untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan sistem khilafah Islamiah, usaha-usaha seperti inilah yang memungkinkan terancamnya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah konsep yang ideal dan sudah final bagi bangsa ini, ditengah pluralnya masyarakat Indonesia, baik menyangkut masalah suku, budaya, sistem kepercayaan maupun yang lainnya. Tidak dengan sendirinya gerakan-gerakan fundamentalisme agama tersebut berkembang dengan pesat, melainkan  berawal tumbuh suburnya dari kampus-kampus yang rata-rata kampus sekuler (M. Sobari, 2003: 176).

Karen Amstrong, seorang pangkaji agama terkemuka dari Inggris, meramalkan bahwa di penghujung abad ke 20, akan terjadi fenomena yang sangat mengejutkan, yaitu munculnya fundamentalisme dalam tradisi keagamaan dunia (Karen Amstrong, The Holy War: 1991). Fundamentalisme yang dia maksud bukan hanya terbatas pada agama semitik saja, tetapi juga melanda seluruh bangunan sistem kepercayaan di dunia. Fernomena fundamentalisme agama menjadi ancaman yang sangat serius bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat modern. Keberagamaan yang diharapkan mampu menjadi agama sipil (civil society) akhirnya semakin sulit untuk direngkuh. Justru kemudian yang muncul adalah fundamentalisme agama dan diperkuat dengan simbol-simbol agama, yang bagi kalangan fundamentalis tidak hanya menjadi identitas tetapi lebih dari itu, sebagai sebuah simbol resistansi dan perlawanan.

Dilihat dari akar munculnya istilah fundmentalisme, Al-Asymawi  dalam bukunya Politik Islam, mengatakan bahwa istilah fudamentalisme awalnya berarti umat Kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Terminologi ini kemudian berkembang, lalu disematkan pada aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan formal agama, serta ekstrem dan radikal dalam berfikir dan bertindak.

Penyematan istilah Islam fundamentaslisme, yang seperti sekarang ini terjadi, kurang begitu disukai oleh Fazlur Rahman, ia lebih suka memakai istilah revivalisme (kebangkitan kembali). Menurutnya istilah fundamentalisme adalah orang yang komitmen terhadap proyek rekonstruksi atau rethinking (pemikiran kembali). Pada dasarnya, fundamentalisme Islam bergelora melalui penggunaan bendera jihad untuk memperjuangkan agama. Suatu ideologi yang kerap kali mempunyai fungsi menggugah militansi dan radikalisasi umat. Akhirnya, fundamentalisme Islam diwujudkan dalam konteks pemberlakuan syariat Islam yang dianggap sebagai solusi alternatif terhadap krisis bangsa yang selama ini melilit. Mereka hendak melaksanakan syariat Islam secara kaffah dengan pendekatan tafsir tekstual terhadap Al-Qur’an dan mengesampingkan tafsir secara kontekstual.

Wajah garang fundamentalisme adalah gerakan emosional reaksioer yang berkembang dalam budaya yang sedang mengalami krisis sosial dan bersifat tidak toleran (Jamal Al-Banna, Rutuhnya Negara Madinah, 2004: 56). Demikian juga ketika paham dan gerakan keagamaan, gerakan fundamentalisme lebih mengutamakan kemapanan suatu doktrin agama dan berpijak pada teks yang sangat kaku dan tidak mengenal kompromi. Lebih lanjut, sangat diragukan kemampuan mereka dalam menjawab masalah-masalah yang timbul akibat adanya proses modernisasi.

Fundamentalisme sebagai gejala sosial psikologis yang diartikan Nurcholis Madjid, dan meminjam istilah Enrich Fomm, “lari dari kebebasan” adalah pelarian dalam keadaan yang tidak berdaya akibat adanya perubahan sosial yang terjadi (Yusril Ihza Mahendra, 1996: 6). Dari bahaya fundamentalisme diatas, sekiranya tidak ada kata yang tepat dan layak disematkan kapada kaum fundamentalis kecuali sebagai gerakan militan yang memakai jubah-jubah agama. Melalui sistem khilafah mereka berasumsi dapat menggalang kekuatan yang ekstra dan jihad dapat dilaksanakan sesuai dengan konsep yang telah mereka gariskan. Akibat dari semua ini, akhirnya Islam hanya dijadikan sebagai kendaraan atas upaya-upaya politis. Niat yang semula menjadikan agama sebagai alat pembebasan akan semakin sulit tercapai, yang kemudian muncul adalah klaim kebenaran agama yang berujung pada pembebasan agama tanpa memahami intinya, dan agama hanya akan berenang pada wilayah dogma-dogma yang ekslusif. Wa’wllahu A’lam.

Sumber: dari artikel harian KOMPAS
»»  READMORE...

Negara “Merdeka” vs Negara “Terjajah”

.
0 comments
Saya telah berpergiaan keliling India dan tak pernah melihat satupun pengemis atau pencuri. Kekayaan semacam itu saya saksikan di seantero negara ini. Nilai moral, orang sekaliber tersebut, saya tak pernah berpikir bahwa kami dapat menjajah negara ini, kalau kami tidak mematahkan tulang punggung bangsa ini, yakni warisan spiritual dan budayanya. Oleh sebab itu, saya mengusulkan bahwa kami musti mengganti sistem pendidikan lama dan budaya mereka. Karena jika orang India berpikir bahwa budaya asing dan Inggris lebih baik dan lebih hebat dari budaya mereka sendiri, maka mereka akan kehilangan harga diri dan budaya lokal yang asli. Mereka pasti menjadi apa yang kita inginkan, bangsa yang sungguh terjajah.”

Itulah kata-kata Tuan Thomas Babington Macaulay (1800-1859), anggota dewan pemerintahan dari Perusahaan India Timur pada tahun 1834-1838, dikutip dari pidatonya yang diberikan pada tanggal 2 Februari 1835. Membaca kata-kata itu hampir dua abad silam, saya menyadari bahwa Tua Macaulay belum mati. Oleh karena itu, saya memakai istilah “sekarang” dan bukan “dulu”. Idenya tetap hidup. Dia masih mempunyai banyak pengikut di seluruh dunia.

Sahabat baik saya mengatakan pada saya bahwa sebenarnya apa yang disebut negara jajahan India di bawah kekuasaan Inggris lahir pada 1835 itu dan Tuan Macaulay memainkan peran sebagai bidannya. Macaulay menyerang fondasi utama peradaban India masa silam, dan ia berhasil.

Berapa dari kita di Indonesia menyadari bahwa hal yang sama tengah terjadi pada kita di zaman modern ini? Kita tak hanya dikepung oleh satu atau dua, tapi begitu banyak Macaulay. Satu perbedaannya: Macaulay yang kondang atau tak terkenal tersebut berkebangsaan Inggris, putih, sehingga begitu mudah dikenali. Sekarang, genre Macaulay datang dalam pelbagai warna dan bentuk, putih, coklat, merah dan bahkan hitam.

Dan, mereka mencabut akar budaya kita dan peradaban leluhur dari segala sudut. Salah satu dari mereka, kaum wahabi, yang didukung oleh Kerajaan Saudi, telah secara intensif menyusupi masyarakat dan sistem sosial kita, sampai-sampai saat ini kita bingung dan tak bisa membedakan mana nilai spiritualitas agama dan mana yang radikalisme agama. Beberapa menteri, pejabat tinggi bahkan aparat militer dan partai politik di”pakai” sebagai agen mereka untuk menghancurkan kita dari dalam.
Mereka begitu panik dan tak akan meninggalakan satu batupun tetap pada tempatnya untuk memastikan bahwa mereka telah mendominasi negara seperti kita
Saya mempunyai seorang teman dari Timur tengah, yang sepupunya seorang Mufty, atau Ketua Mahelis Ulama di salah satu negara di sana. Ia mengomentari kejadian dan diskursus yang beredar di negara kita - dari fatwa yang dikeluarkan MUI sampai pada meningkatnya radikalisme dan indoktrinasi agama terhadap anak-anak kita - teman saya dari Arab itu berkata:

Penting (bagi) mu (untuk) mengetahui kemunafikan dari masyarakat yang terbelakang di mana kita tinggal. Saya menyaksikan sendiri saat tinggal di Indonesia lebih banyak di antara kalian yang toleran, mau menerima orang lain, tulus, apresiatif terhadap alam dan lingkungan, di sini di (Timur) Tengah saya merasa tepat berkebalikan dengan kutub duniamu! Itulah sebabnya saya terus-menerus mengulangi betapa pentingnya untuk tetap melestarikan budayamu, alam dan nilai-nilai tersebut.”
Sayang, nilai-nilai budaya tersebut kini dianggap “tidak sejalan dengan agama.” Menariknya dan kebetulan sekali, orang yang mengatakan hal itu begitu takut terhadap pemerintahan kita saat ini, padahal faktanya lembaga mereka didanai oleh negara dengan uang para pembayar pajak.

Baru-baru ini, Pangeran Hassan Bin Talal dari Yordania di Islamabad mengatakan: “Di masa depan kekuatan besar dunia akan berasal dari Asia, jadi kekuatan yang berkuasa saat ini akan melakukan sebaik-baiknya investasi pada orang-orang di Timur Tengah untuk memastikan bahwa dunia baru itu tak membawa dengannya masalah-masalah dari yang lama.”

Orang Arab seperti Pangeran Hassan dan kutipan teman saya di atas bisa dihitung dengan jari. Tapi mereka semua menyadari bahwa mereka hidup di tengan masyarakat yang sakit, dan kita orang Indonesia sedang “mengimpor” penyakit mereka. Kita menerima semua jenis virus mematikan yang diekspor oleh mereka.
Dalam sebuah e-mail untuk seorang teman,  Aktivis Muslim Indonesia, sebuah nama yang amat diperhitungkan, teman Arab saya tadi menambahkan hal ini pada pernyataan Pangeran Hassan: “Itulah tepatnya yang saya sangat kwatirkan tentang kapan kita bisa membicarakan tentang gelombang (kata dihilangkan) dan (kata dihilangkan) impor kelakuan bodoh lainnya berupa intoleransi, kepicikan pikiran!

KAMU HARUS MEMUTUSKAN ISLAM MACAM APA YANG SESUAI BAGIMU. KAMU MUSTI MEMPENGARUHI DUNIA MUSLIM LAMA DENGAN NILAI-NILAIMU DAN TRADISI TOLERANSI, PENERIMAAN TERHADAP YANG LAIN, KERENDHAN HATI DAN KESEDERHANAAN.”

Huruf besar bukan “improvisasi” saya.” Saya mengutip e-mail seperti yang tertulis. Saya menghapus 2 kata, yang saya tahu akan diprotes secara keras oleh kepicikan pikiran “kita”, yang mengidentifikasi agama dengan atribut-atribut luaran.
Indonesia cepat menjadi negara yang “terjajah” secara budaya, dan masyarakat kita terpecah-belah karenanya. Budaya Saudi, ideoogi wahabi dan tradisi Arabia, yang tak sejalan dengan budaya kita sendiri akan mendominasi dalam skala besar. Dan, sang penjajah tentu menarik keuntungan dari penjajahan semacam itu.
Saya harus mengulangi sekali lagi bahwa Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya kurang dari 100 tahun lagi akan kehabisan sumber daya minyak mereka dan sekarang mereka dihadapkan pada kemungkinan kerusuhan sosial karena menipisnya bahan pangan dan air minum.
Sekarang mereka sudah panik. Dan, mereka tak akan meninggalkan satu batupun tetap pada tempatnya untuk memastikan bahwa mereka telah mendominasi negara-negara seperti kita untuk memastikan persediaan makanan mereka.
Saya ingin tahu apakah pejabat kita memiliki intelegensia untuk memahami poin tersebut.
Saya kasihan pada salah seorang pejabat tinggi yang mengajukan istilah yang ia sebut sebagai “turisme religius” bagi orang dari Timur Tengah. Turisme macam apa? Mereka sudah dihadapkan pada isu keselamatan untuk bertahan hidup.

Sementara itu, saat kita menghadapi krisis finansial dan mobilisasi dari orang lapar yang mencoba untuk mendominasi kita, kita justru sibuk mengurusi pemilu mendatang.
Apakah kita memiliki uang untuk itu? dari mana uang itu datang? Mereka yang ingin memperbudak kita akan dengan senang hati meminjamkan kita uang sebagai pertolongan dengan syarat tertentu.
Barangkali beberapa pejabat kita mengetahui hal ini, karena itu usaha mereka ialah meningkatkan pendapatan dari pajak dan tunjangan pemerintah, bahkan memakai jargon agama untuk memikat massa yang sangat kurang cerdas, yang begitu mudah digoyang dengan sentimen keagamaan.
Teman-teman, kita hidup di masa yang sangat berbahaya. Kemerdekaan kita berada di ujung tanduk. Saya bertekad, saya berharap, saya berdoa bahwa para pemimpin kita sadar akan hal tesebut dan cukup bijaksana untuk mengatasi situasi ini.

Anand Krishna ialah seorang aktivis spiritual Indonesia
Sumber: http://www.thejakartaglobe.com/opinion/article/12192.html
»»  READMORE...

Nasehat Leluhur dalam Menghadapi Keretakan Rumah Tangga

.
0 comments
Tidak ada perceraian, yang ada hanyalah perpisahan
Seorang anak berkomentar: “Ayah dan ibu saya bercerai, dan saya benar-benar stress. Itu terjadi beberapa tahun yang lalu, dan hampir setiap hari saya menyesal dengan tidak memiliki ibu dan ayah bersama-sama dalam rumah yang penuh kasih. Bagaimana saya bisa mengatasi hal ini?”
Memang bukanlah suatu pengalaman yang mudah menghadapi perceraian kedua orang tua. Ada perasaan hampa, sesuatu hilang, yang tidak pernah bisa diraih kembali. Akan tetapi pada dasarnya, ketika anak-anak lahir sebagai hasil pernikahan, sesungguhnya tidak ada perceraian, yang ada hanyalah perpisahan. Setiap pernikahan benar-benar tidak bisa dibatalkan, sifat genetik kedua orang tua sudah bersatu dan berada dalam diri sang anak, dan tidak bisa diceraikan.
Perlu perjuangan agar kejadian tidak berulang
Para leluhur mengingatkan, sebelum mengambil keputusan bercerai, perlu mempelajari kehidupan orang tua dan generasi sebelumnya dan kemudian mempertimbangkan pula tentang kehidupan anak-anak. Leluhur telah memberi nasehat, suatu kejadian harus diselesaikan dengan pengorbanan, dengan penuh kesadaran atau selama tujuh turunan, kejadian tersebut akan dapat menimpa dan menghantui anak keturunan.
Ki Ageng Suryamentaram mempunyai pemahaman bahwa keinginan seorang anak yang ingin lahir menyebabkan kedua orang tuanya memadu kasih. Sehingga orang tua adalah pilihan diri sendiri dalam proses evolusi menuju kesempurnaan. Wajar sekali apabila bukan hanya sifat genetik, akan tetapi siklus kehidupan kedua orang tua pun ada kemiripannya dengan siklus kehidupan diri sendiri, walaupun situasi dan lingkungannya bisa berbeda. Seseorang yang tidak menghormati ayahnya, akan menurunkan sifat genetik anak yang tidak menghormati orang tuanya. Apabila orang tua tidak akur dengan saudaranya, sifat tersebut juga akan diturunkan kepada anaknya. Diperlukan suatu perjuangan untuk memutus siklus agar sifat tidak baik yang telah diturunkan tidak berkembang. Sudah sewajarnya seorang anak mempelajari kehidupan kedua orang tuanya dan selanjutnya berjuang memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka, sehingga sifat yang tidak baik tersebut tidak diturunkan lagi kepada anak cucunya. Itulah anak saleh dipandang dari sudut genetika.
Kanca Urip, Teman Hidup
Apabila seseorang memilih bercerai dalam rumah tangga, maka kejadian tersebut akan dapat berulang kepada anak keturunannya. Ada kebijakan leluhur yang memahami pasangan hidup sebagai kanca urip, teman hidup. Sebelum pernikahan, seseorang sudah lebih dulu memilih pasangan hidupnya. Adalah tidak mungkin menyamakan setiap keinginan dia dengan keinginan pasangan hidupnya, karena sifat genetik, pendidikan dan pengalamannya berbeda. Kalau memang dalam perjalanan ditemui banyak perbedaan, biarlah dia hidup seperti keinginannya. Kalau pasangan hidup menempuh jalan masuk neraka, diri tidak perlu ikut-ikutan, diri punya prinsip sendiri. Pada akhirnya masing-masing akan dimintai pertanggungan jawab sendiri-sendiri. Banyak rumah tangga pada zaman dahulu, dimana suami dan istri tidak selaras, tetapi mereka tetap memilih hidup dalam satu rumah, dengan kegiatan sendiri-sendiri. Bukankah pasangan hidup hanya sebagai kanca urip sampai saatnya kita meninggalkan dunia ini? Kalau bisa selaras disyukuri, kalau tidak selaras ya dapat dimaklumi juga. Pandangan leluhur tentang kanca urip ini semakin relevan ketika seseorang mulai mendalami spiritual. Itulah jalan terbaik bagi anak-anak dan perkembangan spiritual diri.
Pandangan leluhur tersebut, semakin terasa benarnya, setelah diri sadar bahwa aku bukan egoku: bukan badanku; bukan pikiranku; dan bukan perasaanku; aku adalah saksi. Yang mengalami hukum sebab akibat adalah egoku. Ketika pemahaman aku sebagai saksi disadari dan dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari maka akan muncul kedamaian diri. Aku telah menjadi aku universal, bukan aku yang terpisah karena adanya egoku. Terima kasih Guru.

Author : Triwidodo
September 2008.
»»  READMORE...
 
Namablogkamu is proudly powered by Dimas Petruk | Template by o-om.com